Berani Hidup?

Dulu saya berani mati, tapi sekarang saya berani hidup. Kenapa? Karena orang hidup tantangannya banyak. Orang hidup masalahnya banyak. Hidup bukan cuma tentang mengejar kesenangan/kebahagiaan.” – Guru SMU saya.

***

Suatu hari saya bertemu dengan seorang ibu yang saat itu sedang menikmati sebatang rokok yang menyala ditangannya. Kami mengobrol sebentar. Dia bercerita tentang pernikahan pertamanya yang gagal, dan pernikahan keduanya sekarang pun tidak lebih baik dari yang pertama; tapi masih dipertahankan karena mereka sudah tua. Sambil bercerita, sesekali ibu ini menghisap rokoknya dalam-dalam dan mengepulkan asapnya ke udara. Merokok adalah pelarian baginya. Keputusasaan dan kekecewaan silih berganti datang dalam hidupnya. Sehingga merokok adalah hal yang paling masuk akal untuk membuatnya bahagia sesaat. Merokok membuatnya melupakan kekecewaan dan keputusasaan itu sejenak.

Lalu kemarin saya menonton film Bridget Jones’s Diary sekilas. Si Bridget, tokoh sentralnya, di awal cerita digambarkan sebagai perokok berat. Dan sepanjang yang saya tonton, diceritakan bahwa si Bridget ini merupakan perempuan yang lumayan sering menghadapi keputusasaan dalam hidupnya. Mulai dari tidak punya pacar, pekerjaan biasa-biasa saja, orangtua yang tengah berpisah, dlst. Pokoknya hidupnya tak menarik sama sekali, sehingga merokok juga nampaknya adalah sebuah pelarian baginya. Dengan merokok, setengah beban hidupnya seakan lenyap; hidup jadi lebih ringan.

Benarkah demikian?

Gara-gara melihat asyiknya si Bridget ini merokok, kemarin saya jadi sempat ingin merasakan lagi rokok yang dinyalakan itu di mulut saya. Saya bukan perokok. Tapi saya pernah mencoba sebatang rokok saat SD. Maklumlah, anak SD masih bau kencur, masih hijau, pengen tahu bagaimana rasanya merokok. Saya tak ingat entah dari mana asal sebatang rokok yang saya gunakan waktu itu. Sewaktu rokoknya masuk ke mulut saya dan menghisapnya sedikit, saya langsung terbatuk-batuk. Rasanya nggak enak! Sejak itu, saya tak pernah lagi berminat dengan benda yang satu itu.

Jadi, kenapa kemarin muncul pula keinginan untuk menghisapnya lagi? Apakah saya sedang putus asa juga?

Kalimat guru saya tadi pun melayang-layang di kepala saya. Hidup memang tak selamanya indah seperti pelangi. Bahkan pelangi itu sendiri pun kadang muncul setelah hujan reda.

Hidup tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Kita maunya A, teman kita maunya B. Kita maunya G, orangtua kita maunya P. Kita maunya R, saudara kita maunya L. Kita maunya X, bos kita maunya Z. Rambut boleh saja sama hitam, tapi isi kepala tiap orang pasti berbeda. Dalamnya laut bisa diukur, dalam hati siapa yang tahu?

Perbedaan atau konflik akan selalu muncul entah dalam organisasi atau dalam keluarga. Pertanyaannya adalah, apa yang akan kita lakukan dengan perbedaan atau konflik itu? Apakah mau dipelihara, didiamkan, atau dicari solusinya?

Katanya bumi ini akan hancur jika semua orang mengejar kebahagiaannya sendiri. Bukankah memang seperti itu yang terjadi sekarang? Bumi kita keruk habis-habisan demi uang, demi menafkahi keluarga, demi hidup. Apakah begitu yang namanya berani hidup, Bu Guru?

Saya pikir, bukan seperti itu yang dimaksud ibu guru saya tadi. Berani hidup maksudnya berani menghadapi hidup dengan segala tetek bengeknya. Berani hidup berarti berani menghadapi masalah/konflik, bukannya lari. Kalau tak mau punya masalah, pergilah ke kuburan! Tentu, hanya orang mati yang tak punya masalah.

Berani hidup juga berarti berani kecewa, berani menghadapi penderitaan, berani bahagia, berani sedih, berani bersyukur bagaimanapun keadaannya. Berani hidup berarti berani tidak putus asa. Karena putus asa berarti kehilangan harapan. Lalu apa gunanya ber-Tuhan kalau kita putus asa? Putus asa berarti kita menggantungkan harapan kepada diri sendiri, bukan kepada Tuhan. Kalau kita menyerahkan hidup kepada Tuhan, tak mungkin kita putus asa, tak mungkin mencari pelarian. Pelarian hanya menyenangkan untuk sesaat.

Kedengarannya mudah, ya, menyerahkan diri kepada Tuhan? Tetapi sesungguhnya amat berat. Karena kita manusia cenderung tidak pernah puas akan hidup ini. Cenderung ingin menguasai dan mengendalikan hidup kita dengan cara kita sendiri, meskipun salah. Namun saya pikir hanya itu satu-satunya cara supaya berani hidup, yakni berserah kepada Tuhan.

 

Jadi, apakah anda berani hidup?

 

 

6 Replies to “Berani Hidup?”

Comments are closed.