Mencintai Diri Sendiri (dan Orang Lain)

Saat ini dunia sedang dininabobokkan dalam aktifitas bernama pemanjaan diri.” Begitulah kata artikel yang saya baca baru-baru ini. Pemanjaan diri dalam konteks ini bisa didefinisikan sebagai perhatian berlebihan kepada diri sendiri. Awalnya saya kurang setuju dengan kesimpulan tersebut. Tetapi, kalo diingat-ingat lebih lanjut, ya ada benernya juga sih…

Dari pengalaman hidup saya belajar bahwa jika kegiatan kita semata untuk menyenangkan diri sendiri, bisa dipastikan kita akan jatuh dalam siklus yang sama. We satisfy for sesaat, but then enggak pake lama, kita akan cari lagi untuk memenuhi rasa lapar / haus akan kesenangan-kesenangan tersebut. Seperti yang saya alami kemarin, dimana saya nyaris membiarkan diri dininabobokkan keinginan untuk jalan-jalan liburan for a couple of days or more.

Dan dari pengalaman hidup juga, saya belajar bahwa kewarasan atau sanity justru muncul ketika kita mulai memerhatikan kebutuhan orang lain, instead of focus on senangkan diri sendiri; dan ketidakbahagiaan justru muncul ketika kita cuman fokus ke pemenuhan kebahagiaan diri sendiri atau menyenangkan diri sendiri.

Jika rasa cinta kita kepada diri sendiri terlalu besar dari rasa cinta kepada Tuhan, kita harus berhati-hati; karena pada satu titik, hal tersebut hanya akan membawa bencana mengerikan ke dalam hidup kita.

Been there, done that. 

**

Nah, dalam proses pertobatan ini saya belajar bahwa salah satu upaya untuk dapat fokus ke orang lain, atau untuk dapat mulai memerhatikan kebutuhan orang lain adalah dengan: belajar mendoakan mereka dengan tekun; sekalipun perilaku mereka pernah tidak terpuji, atau pernah menyakiti kita.

Saya pernah membaca tentang kisah hidup Eric Liddell, yaitu seorang pelari peraih medali emas yang juga penginjil. Orang-orang yang pernah mengenal Eric mengenangnya dengan, “a gentleman who never say a bad word about anybody.” Saat berada di kamp interniran di Cina semasa perang dunia II, Eric mengajak para tahanan untuk mengampuni dan mendoakan para penyiksa mereka. 

Mau nangis rasanya bacanya ya? Let me rephrase that again: mengampuni dan mendoakan para penyiksa mereka. 

Mendoakan orang yang menyiksa ini bisa dipakai juga untuk mendoakan orang yang bikin hati kita sakit atau menjadi tak enakan, atau yang mempermalukan kita, yang mengejek, dlst. Kalo dulu mah saya akan menjauhi orang-orang yang bikin hati enggak enak. Tapi sekarang, saya udah belajar mendoakan mereka-mereka yang menyakiti hati. Hasilnya adalah: hidup terasa lega. 🙂

Eric pasti tahu jelas bahwa jika ia bener-bener mengasihi Tuhan, maka ia mesti terus menjaga pikiran, mulutnya, gerak-geriknya; pendek kata, menjaga dirinya. Apalah artinya sedikit cemooh dari orang-orang yang menyakitinya, sementara ia tahu bahwa Tuhan sudah memberi hadiah yang terbaik baginya, yaitu: Tuhan sendirilah hadiah yang tiada bertara itu. 🙂 

So when there was a chance dia dapat bebas dari kamp tersebut, ia justru memberi kesempatan itu untuk orang lain yang lebih membutuhkan. 🙂

I think Eric knows that was the real test: siapakah yang sebetulnya sangat dia cintai? Dirinya sendiri atau Tuhan?

Dengan memberikan kesempatan untuk bebas tersebut kepada orang lain, dia menunjukkan bahwa ia mengasihi Tuhan dengan cara menunjukkan kasih-Nya kepada orang lain. 🙂 Memberi memang selalu lebih baik daripada menerima. Eric akhirnya meninggal di kamp karena kesehatannya semakin menurun. 

Kehidupan orang yang percaya kepada Yesus memang bukanlah untuk mengejar kenyamanan ataupun kebahagiaan diri semata; melainkan untuk mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Kita bisa belajar mencintai Tuhan dan sesama dengan mulai bertanya, “Bagaimana perasaan Tuhan jika saya melakukan hal ini?” sebelum kita bertindak.

Contoh praktis lainnya untuk mulai belajar mencintai orang lain adalah: kita bisa mulai mendoakan para tetangga kita atau teman kantor, memberi semangat untuk orang yang baru kehilangan keluarganya, mengirim makanan atau vitamin untuk mereka-mereka yang sedang sakit atau menderita, ikut program peduli covid, nolongin sodara yang butuh pertolongan, dlst. Ada begitu banyak hal bermanfaat yang bisa dilakukan. 🙂

2 Replies to “Mencintai Diri Sendiri (dan Orang Lain)”

Comments are closed.