What is freedom to you? Apakah kebebasan itu artinya bisa makan sepuasnya tanpa rem? Bisa ngomong apa pun tanpa sensor? Bisa melihat tontonan apa pun sesuka hati?
Sebagai makhluk yang punya pikiran dan bisa memutuskan, saya pikir saya dapat bebas menggunakannya sesuka saya, dan saya bebas memikirkan apa yang ingin saya pikirkan. Bebas mengeluarkan pendapat. Bebas melakukan ini dan itu. Pokonya bebas sebebas-bebasnya, tanpa batasan. Begitulah dulu saya pikir arti bebas merdeka.
Until one day, konsep itu berubah ketika tragedi datang melanda. Yang tadinya saya pikir saya bebas mengendalikan hidup sesuai yang saya mau, tapi nyatanya saya tidak punya kendali seutuhnya terhadap hidup ini. Setelah tragedi itu datang, saya hidup dalam ketakutan. Ngerjain ini takut, ngerjain itu takut. Ngapa-ngapain dibelenggu rasa takut.
Jika hidup bebas yang saya jalani selama itu pada akhirnya berujung pada tragedi, berarti ada sesuatu yang sangat keliru dengan cara hidup saya dan perlu diubah agar membaik. Dalam titik terendah di hidup saya itulah, saya mulai berdoa agar Tuhan mengubah hidupku. Dan sejak itu, saya mencari jalan keluar bagaimana caranya agar bebas dari rasa takut.
Dalam pencarian kebebasan dari ketakutan itu, Tuhan menuntun saya berjumpa satu buku berjudul ‘Living in Absolute Freedom’ atau ‘Hidup dalam Kebebasan Mutlak’, yang isinya menolong saya menemukan arti hidup bebas merdeka.
Saya percaya, when we read a book, kita mestilah siap untuk mendengar saran maupun masukan yang diberikan penulisnya; karena si penulis bercerita tentang perjalanan hidup serta pergumulannya di dalam bukunya, sehingga kita bisa belajar dari pengalaman mereka. 🙂
Jadi apa artinya hidup bebas merdeka/kebebasan mutlak?
Pencarian Kesempurnaan
Donna Partow, penulis buku ini, tumbuh dalam keluarga yang berantakan. Keluarganya pecandu obat, dan dia sendiri menjadi pengedar obat terlarang. Kemudian dia menikah, dan memupuk harapan-harapan yang keliru dan tidak realistis dalam pernikahannya.
Seperti Donna, dulu saya pikir, kalau saya menikah, masalah hidup enggak akan ada lagi dan saya akan hidup bahagia selamanya. Kayaknya itu dulu terjadi gara-gara saya kebanyakan nonton film-film yang mengagung-agungkan a happy ending, as a problem solving. Tentu saja saya keliru.
Saya juga dulu mudah kecewa oleh omongan orang-orang atau karena respon orang lain yang tak sesuai dengan harapan/keinginanku, atau ketika seseorang mengatakan hal-hal yang tidak benar tentang diri saya. Efeknya adalah, saya jadi males ketemu atau berhubungan dengan orang-orang itu lagi.
Sebenernya ini jadi trauma, kan? We keep playing that bad memories in our mind over and over. Donna menyebut aktifitas menyimpan kesalahan-kesalahan maupun kekurangan-kekurangan dan ketidaksempurnaan ini seperti menyimpan harta karun yang berharga, padahal bukan. Harta karun itu mestinya berisikan hal-hal berharga dan bermakna dan hati kita gembira ketika memilikinya. Betul, kan? 🙂
Melepaskan yang Tidak Berharga
Dalam perjalanan pertobatan dan pencariannya kepada kebahagiaan sejati, Donna akhirnya menemukan bahwa hanya Yesuslah jawaban untuk kesempurnaan yang ia cari selama ini. Bukan orang lain atau hal-hal lain. Diluar Yesus hanya ada kelelahan dan kesia-siaan.
Kemudian Donna belajar untuk melepaskan ‘harta karun-harta karun’ yang tidak berharga seperti yang saya jelaskan di atas tadi, dan mulai memupuk cintanya kepada Yesus yang berharga. Caranya yaitu dengan mulai belajar hidup dengan ramah, sabar, lemah lembut, mau memaafkan, peduli sesama, menghentikan pikiran-pikiran aneh, dan mengembalikan kehendak bebasnya kepada Tuhan.
Ketika Yesus, yang sempurna itu, menjadi segalanya bagi Donna, maka ia dapat membebaskan pengharapan “seharusnya gini, seharusnya gitu..” kepada orang-orang yang diharapnya harus sempurna. Sehingga pada akhirnya, Donna dapat mencintai orang-orang tersebut dalam ketidaksempurnaan mereka, dan meletakkan pengharapannya di dalam Tuhan. 🙂

Dan sejak saya membaca buku ini jugalah perlahan saya mulai melepaskan ‘harta karun’ yang tidak berharga dalam hidup saya, mulai memaafkan satu per satu, dan mulai memupuk cinta kepada Yesus yang berharga. 🙂 Foto di atas saya ambil sewaktu masih di Balikpapan, ketika dalam proses memaafkan satu per satu.
Sekarang, tentu saya masih kecewa bila ada hal-hal terjadi tidak sesuai keinginan saya. Tapi bedanya adalah, sekarang resiliensinya sudah lebih cepat, karena saya sudah belajar tentang identitas saya yang sebenarnya, yaitu: anak Allah yang dipanggil untuk hidup di dalam kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan pengendalian diri. Intinya, memiliki karakter hidup seperti Yesus. Dan sekarang saya sadar bahwa saya bersama orang-orang lainnya juga masih sering berbuat salah setiap harinya dan penuh kelemahan dan kekurangan di sana-sini. Menyadari hal ini, dan mengingat bahwa Tuhan selalu memaafkanku tiap kali saya mengaku bersalah, membuat saya sekarang mudah memaafkan orang. Seperti itulah kehidupan di bumi ini.

Agustinus dari Hippo
Di masa-masa membaca buku ini jugalah saya berkenalan dengan Agustinus dari Hippo, yang terkenal dengan ucapannya, “You have made us for Yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in You.” Manusia diciptakan untuk berelasi dengan Tuhan, dan jiwa kita tidak akan pernah tenang sampai kita menemukan peristirahatan di dalam Tuhan.
Agustinus adalah seorang anak lelaki yang pada awalnya menjalani hidup bebas sesuka dia. Ibunya bernama Monika terus-menerus mendoakan Agustinus agar bertobat. Ketika Agustinus akhirnya menemukan jawaban untuk kegelisahan-kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya, ia akhirnya menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya hanya didapat dalam mengenal Penciptanya. Ketika Allah menyentuh jiwa Agustinus, hidupnya menjadi penuh dengan makna. Allah adalah sumber kebahagiaan yang dia cari selama ini. 🙂
Kebebasan Mutlak
Hanya di dalam Yesuslah ada jawaban untuk setiap pertanyaan kita. Karena hanya Dialah yang memberi kita kekuatan setiap waktu, membuat kita bertahan menjalani rupa-rupa keadaan di dunia ini.
Perbuatan Yesus tidak bergantung pada situasi maupun respon orang sekitar, tetapi pada Kasih Allah yang amat luas. Makanya sekalipun keadaan tidak bersahabat, Yesus tetap selalu merencanakan yang terbaik sejak dalam pikiran, dan bertindak yang terbaik. Itulah artinya mengandalkan Tuhan dan taat pada-Nya, dan itulah arti kebebasan mutlak, bebas merdeka. 🙂
Kita bisa melihat sikap Yesus ini misalnya di saat-saat terakhir hidup-Nya di bumi. Ketika tergantung di salib, Yesus berdoa meminta pengampunan kepada Bapa, untuk orang-orang yang telah menyalibkannya.
Saya pikir, siapapun kita pastilah ingin menjadi bagian dari orang tersebut, betul? Following Him, and do what He did, melakukan hal-hal mulia, terhormat, penuh kebaikan, sekalipun keadaan sekitar kita tidak ideal. Pendek kata, we look up to Him in every single thing we do. Saya ingin mengikuti Dia, yakni Dia yang kasih-Nya melampaui tingginya langit, yang pengampunan-Nya melampaui dalamnya bumi, dan yang anugerah-Nya melampaui luasnya samudera.
Hanya di dalam Yesuslah kita dapat mengenal siapa dan seperti apa Pencipta kita sesungguhnya. Ia memampukan kita memaafkan, hal yang kita pikir mustahil untuk dilakukan. 🙂 Sungguh hal yang amat berharga ketika kita dapat mengenal Pencipta kita selagi hidup di dunia ini. 🙂