Baru-baru ini saya mengikuti webinar soal trauma dan luka batin yang diadakan oleh salah satu lembaga konseling. Saya tidak punya ekspektasi apa pun soal webinar ini. Saya bahkan sempat skeptis untuk mengikutinya karena saya pikir saya udah cukup banyak belajar soal trauma dan luka batin, jadi, hal baru apa lagi yang akan saya dapat dari acara ini? Begitulah pikir saya awalnya. Tak disangka, rupanya webinar tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan saya soal cinta.
Melihat banyaknya peserta yang mengikuti webinar tersebut (menurut panitia ada sekitar 900 orang yang mendaftar), saya semakin yakin bahwa trauma dan luka batin ini memang betul-betul topik yang sangat dekat dengan keseharian kita. Dan setelah mendengar pemaparan dari para narasumber, semacam ada kelegaan mengalir dalam diri saya karena semakin menyadari soal hubungan cinta, trauma, dan luka batin. Di bawah ini adalah catatan saya tentang webinar tersebut.
**
Kita hidup di dunia ini barangkali hanya dengan satu keinginan terdalam, yaitu dicintai dengan wajar dan tulus, betul? Kita senang bila diperlakukan dengan ramah dan baik, dan tidak senang bila seseorang berbuat jahat sama kita. Intinya, we’re hunger for love.
Namun, karena kita semua telah jatuh dalam dosa (yakni semenjak kejatuhan Adam-Hawa ke dalam dosa di Taman Eden), kita kehilangan kemuliaan Allah di dalam diri kita dan rusak (broken). Akibatnya, kita semua tidak lagi bisa mencintai dengan baik sebagaimana Tuhan mencintai. Makanya tiap orang di dunia ini pasti pernah terluka, pernah melukai, dan luka kita beda-beda.
Kebanyakan kasus kita adalah: kita berharap cinta yang wajar dan tulus dari orang-orang yang dekat dengan kita dan yang punya otoritas dalam hidup kita. Orang tua, pasangan, maupun pemimpin. Namun, seringkali mereka semua gagal mencintai karena mereka juga broken. Remember, kita semua telah kehilangan kemuliaan Allah.
Maka karena kita merasa kurang dicintai, kita mengisi diri kita dengan berbagai hal. Melalui makanan, seks, alkohol, game, pekerjaan, uang, dll, dengan harapan kita akan mendapatkan dosis cinta yang kita butuhkan. Tapi rupanya enggak. And maybe, the term happiness yang sering kita cari-cari itu, sebetulnya adalah cinta yang sangat kita dambakan tersebut.
**
Dalam satu sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang menceritakan kasusnya. Dia terluka karena perkataan-perkataan ibunya di masa lalu, dan mengajak ibunya untuk konseling dan berharap ibunya akan mau minta maaf. Tapi sampai sekarang ibunya tidak mau konseling dan tidak minta maaf. Si peserta ini didiagnosa PTSD (post traumatic stress disorder) dan PPD (post partum depression). Jadi dia bertanya bagaimana sebetulnya dia mesti bersikap.
Narasumbernya menjawab: “PTSD & PPD bisa amat lama disembuhkan. Namun, hilangkanlah semua status diagnosa itu. Ingat, kita manusia. Kita semua telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Lihatlah ortu kita also as a korban dari masa lalunya. Jadi kita tidak tuntut orang lain sembuh/berubah, melainkan diri kita sendirilah yang menjadi fokus kita untuk sembuh. Itu prinsip pemulihan. Lalu lakukan reparenting. Carilah orang lain yang figurnya bagus & positif untuk menjadi semacam pengganti figur orang tua kita yang negatif. Serap ilmunya. Lalu ikuti komunitas yang sehat. Ingat, tanggung jawab kita adalah pada diri kita. Kita tidak bisa menuntut orang lain minta maaf karena itu luka kita, bukan luka mereka.” Saya setuju banget dengan jawaban dari narasumber ini. Dan, reparenting itu bisa juga jadi semacam mentoring ya.
Narasumbernya (NS) sendiri berbagi luka pribadinya yaitu trauma dan luka batin kepada ayahnya. Menurut ceritanya, ayahnya adalah figur bapak yang tidak hadir dalam keluarga, seorang pecandu alkohol, dan ingin anak perempuan. NS bahkan disuruh pakai rok padahal dia laki-laki.
13 tahun setelah ayahnya meninggal barulah NS dapat memaafkan ayahnya. Pemulihan memang butuh waktu, usaha, proses, dan bantuan. Pada akhirnya fokusnya bergeser bukan lagi kepada ayahnya yang berbuat jahat, melainkan kepada Tuhan yang mengizinkan pengalaman tersebut, dan mengambil maknanya, hingga yang tersisa adalah cinta dan pengampunan.
NS menekankan bahwa kunci pemulihan adalah: semakin dekat dengan Tuhan maka semakin cepat kita pulih. Semakin dekat dengan Tuhan maka kita akan semakin mampu memaafkan, karena kemampuan memaafkan berasal dari Tuhan, karena Tuhan adalah Kasih. Kasih menyembuhkan setiap luka.