Mudik ke Sumatera: Medan, Samosir, Ecovillage Silimalombu

Kadang, perjalanan yang tidak direncanakan justru jadi memorable dan berkesan. Seperti perjalanan yang kulakukan baru-baru ini ke Sumatera Utara (Sumut). Semua berawal dari salah satu saudaraku berpulang kepada Tuhan, dan kami keluarga pun pulang untuk mengikuti tradisi adat bagi orang meninggal.

Mungkin karena udah lama enggak mudik, perasaanku campur aduk antara excited dan wondering. Sehingga, selama penerbangan dari Jakarta menuju Kualanamu, aku merasa seperti masuk ke dalam mesin waktu dan akan tiba di planet lain dalam zona waktu yang berbeda pula. 😁 Di Sumut aku menyempatkan diri mampir ke Medan, Samosir, dan Ecovillage Silimalombu. Aku akan memulai cerita perjalananku dari yang paling jauh dulu, yaitu Samosir. 😊

Samosir
Terakhir kali aku pulang ke kampung halamannya orang Batak ini sekitar lima tahun lalu. I was a total mess that time. Ompung boruku (nenekku) meninggal waktu itu, ditambah pula aku baru mengalami stres akibat trauma, rasanya hidup kacau balau. So, i was kinda afraid of going home to Samosir. What will happen kalau aku pulang? Tanyaku. Akhirnya aku berdoa supaya Tuhan jernihkan hatiku dan menolongku menjalaninya.

Siang hari di dermaga Ajibata, aku menanti kapal motor yang akan membawaku menyeberang ke Pulau Samosir. Sekarang calon penumpang mesti menuliskan namanya di dalam daftar penumpang. Hal ini dilakukan semenjak tragedi kapal motor yang tenggelam tahun 2018, dimana hampir semua penumpang tidak terdata, sehingga menyisakan kepedihan bagi keluarga yang tidak tahu bagaimana nasib sanak saudaranya. Jadi supaya tidak terulang lagi, sekarang penumpang mesti didata.

Setelah kapal siap diberangkatkan, aku masuk ke dalam dan mengambil tempat duduk di kursi sebelah lambung kapal yang agak tertutup dari pintu untuk meminimalisir terpaan angin. Ibu-ibu penjual jajanan berkumpul persis di dekat aku duduk. Mereka bertukar cerita.

“Mie gorengmu kemarin habis, eda?” perempuan yang satu bertanya.

“Habis.. Ayam kami yang menghabiskan. Mereka pesta pora. Kata mereka samaku ‘sering-sering aja ya..'” sahut perempuan satunya sembari tertawa. Aku pun ikut tertawa dibalik masker yang kukenakan. Haha.. 😁

Seorang penumpang kemudian memesan teh panas dan, si eda, penjual mie goreng yang habis dimakan ayamnya tersebut, menyiapkan dengan lincah. Gelas styrofoam, teh, air panas, and ready to drink.

Sirene kapal berbunyi nyaring pertanda segera berangkat. Ketika kapal akhirnya mulai bergerak menjauhi dermaga, kepalaku kulongokkan keluar jendela dan mataku tak sengaja melihat seekor anjing kecil berbulu putih duduk nyaman menggoyangkan ekornya di bawah kolong meja tempat penjual ikan. Sebentar kemudian dia tertidur. So cute! 😊

Di tengah danau kapal kami mengalami cobaan karena angin menderu-deru dan kapal berjuang melawan hantaman ombak. My grandma once said to me when i was small, kalau ombak terlihat putih di kejauhan, itu artinya cukup besar; tapi ombak juga bisa mengantar kapal.

Penumpang bersetelan jas tidur tenang di kursi panjang dekat tempatku duduk. Mungkin ia sudah biasa menghadapi situasi kayak gini. Penumpang lainnya menikmati makanan yang dibawa dalam wadah makanannya. And the rest, termasuk aku, sibuk dengan ombak yang berkecamuk di benaknya masing-masing.

Setibanya di pelabuhan Tomok, orang tuaku ternyata datang menjemput. Luar biasa. Aku tak menduga sama sekali. Bersama-sama kami berkendara menuju rumah.

“Aku akhirnya pulang,” gumamku dalam hati.

Kami tiba di rumah. Ketika pintu dibuka.. tercium bau gosong dari arah dapur. Mamaku lupa mematikan api kompor sewaktu pergi. Ikan mas arsik yang dimasaknya untuk kami santap bersama pun gosonglah. Haha.. 😁 Tapi sukurlah rumah kami aman dan baik-baik saja.

Untunglah masih ada lauk berupa ayam pinadar yang dimasak mama untuk makan malam kami. Keseimbangan asam garamnya sungguh pas. Masakan mama memang selalu enak, tiada duanya. β™₯

Malam datang, udara semakin dingin. Bajuku berlapis-lapis bahkan pakai topi dan kaus kaki supaya aman dari terjangan dingin. Sehabis makan kami menyimak siaran tivi sebentar. Puas menyimak tivi, kami pun bersiap untuk modom alias tidur. Suara khas hutan makin kental terdengar. Rasanya bener-bener seperti bermalam di hutan.

Ecovillage Silimalombu
Perjalananku berlanjut ke ke Ecovillage Silimalombu. Kedatangan kami yang lumayan mendadak ini disambut oleh Ompung Thomas sang pemilik tempat, beserta para stafnya. 😊 Kami dipersilakan masuk dan langsung dijamu dengan jus terong belanda beserta kue jahe dan cinnamon roll bertopping markisa.

Ompung Thomas menemani kami bercakap-cakap. Beliau amat antusias menjelaskan pekerjaan mereka di ecovillage. Mulai dari bikin beanbag dari eceng gondok dikeringkan, bikin hand sanitizer, mango brandy, limbah kemiri dikeringkan, bikin bubuk kayu manis, soal pemakaian tisu, dan banyak lagi hal bermanfaat lainnya beliau ceritakan. 😊

Setelahnya kami makan siang dengan menu yang buanyak pilihannya dan masakannya enak-enak. 😁😁Antara lain ada kentang panggang, lobster, salada jipang, daun kecipir, pizza andaliman, dll. Kesemua makanan bersumber dari ecovillage. 😊

Sehabis makan siang, salah satu staf menemani kami berkeliling situs ecovillage. Dia dengan antusias menjelaskan soal zero waste yang mereka terapkan di sana. Bener-bener menambah wawasan. 😊

Medan
Last but certainly not the least, aku berkunjung ke Medan. Tempat pertama dimana karakter dan identitasku dibentuk.

Aku menyempatkan diri berjalan melewati sekolah masa kecilku. TK dan Sekolah Dasar. Ketika melewati gerbangnya yang kini berwarna gelap tersebut, memori masa kecil datang menyerbu. Betapa masa-masa itu luar biasa penuh drama. 😁 Namun semua telah terlewati. 😁 Seingatku dulu gerbangnya berwarna abu-abu membosankan, yang membuat sekolah tampak begitu serius. 😁😁

Kemudian aku pergi ke pintu sekolah TK. Kini suasananya berbeda. Dicat warna-warni bak pelangi, membuatku bersemangat melihatnya. Ah, benar-benar berbeda dengan zaman kami dulu dimana gedung dan pintunya selalu dicat bernuansa monokrom yang membuat sekolah terlihat amat kaku dan menakutkan. Hahaa.. 😁😁 Sukurlah sekarang semua berbeda. Semoga sekarang anak-anak yang bersekolah di sana gembira melihatnya. 😊

Dari situ aku berjalan kaki ke salah satu mall yang udah puluhan tahun berdiri di Medan. Aku hanya ingin bernostalgia. Aku pergi ke bagian belakang dimana seingatku ada penjual kue yang enak-enak. Dan ternyata aku beruntung! Penjual kuenya masih ada! 😁 Aku kemudian berjalan ke dalam pasar di belakang mall, berusaha menemukan penjual mie pangsit langganan orang tuaku jika sedang mampir berbelanja di pasar. Aku tak dapat menemukannya. Mungkin tokonya sudah tutup dan berganti usaha.

Di hari kepulanganku menuju bandara Kualanamu, kendaraan yang kugunakan mengambil rute berbeda dari yang biasa kutahu. Aku benar-benar tidak familiar dengan bagian pinggiran kota Medan yang satu itu. Rasanya kami menjauh dari tujuan. Kami bahkan terjebak banjir yang lumayan karena sehari sebelumnya Medan diguyur hujan besar berjam-jam. Namun sukurlah kami bisa melewatinya.

Ketika mobil masuk ke jalanan beraspal bagus, muncul semacam keyakinan dalam hatiku bahwa itulah jalan menuju Kualanamu. Dan rupanya benar saja. Hanya sekitar 30 menit kami tiba di Kualanamu. Amazing! Kadang jalanan yang tidak biasa, seperti detour, rupanya justru dapat membawa kita lebih cepat tiba di tujuan dengan selamat. 😊

**

Di awal cerita tadi kubilang bahwa alasan kami mudik adalah karena salah satu saudara berpulang kepada Tuhan dan kami mengikuti tradisi adat bagi orang meninggal. Satu hal yang kuperhatikan dari tradisi ini adalah bagaimana orang Batak menunjukkan kasih dan kepeduliannya kepada satu sama lain. Tamu yang datang untuk melayat dan memberi penghiburan kepada keluarga selalu membawa sesuatu misalnya berupa ulos (kain tradisional Batak), dan tumpak (amplop berisi uang). Kemudian keluarga tuan rumah yang sedang berduka pun tak lupa memberi tumpak kepada para tamu, bahkan membuat perjamuan makan. Jadi, para tamu pulang dengan tangan dan perut yang berisi. Keren, ya?😊 Kedua pihak sama-sama saling memedulikan. Apakah tradisi adat kalian gitu juga?

**

Well, segitu dulu ceritaku kali ini. Gimana kabar kalian? Ada yang lagi mudik ke Sumut? Atau mungkin ada yang baru mudik ke rumah ortu? Atau barangkali ada yang pernah bertandang ke Ecovillage Silimalombu?

Advertisement