Sepanjang minggu kemarin aku merasa dorongan untuk berdoa sangat intens. Rasanya amat kuat seperti disuruh dari semua sisi kiri kanan atas bawah depan belakang, pendek kata, dari segala penjuru, untuk berdoa. Ada apa gerangan, ya? Tulisku dalam jurnal.
Walau aku tak mengerti sepenuhnya kenapa, aku menaati ajakan untuk berdoa itu dan menuliskan doa-doaku. Pertama-tama aku berdoa untuk negeri ini dan para pemimpinnya, kemudian untuk orang tua dan keluarga besarku, berdoa untuk lingkungan tempatku tinggal, dan berdoa untuk orang-orang yang muncul dalam benakku yang kutahu sedang mengalami berbagai pergumulan hidup.
**
Sewaktu baru pindah dari Balikpapan ke Bekasi empat tahun lalu, aku menceritakan kisah panjang tentang pertobatanku kepada saudaraku yang juga tinggal di Bekasi sini. Aku akan selalu mengingat responnya setelah aku selesai bercerita. Dia bilang: “Waktu itu aku berdoa terus untukmu, dik.”
Sebaris kalimat pendek itu nempel terus dalam benakku. Aku ingat betul bagaimana hubunganku dengan saudaraku ini sewaktu aku masih di Balikpapan dan ia di Bekasi. Kami sangat jarang berinteraksi. Jadi ketika ia mengaku mendoakanku tanpa sepengetahuanku, aku semakin percaya bahwa doa memang penting dan mampu mengubah keadaan.
**
Pemahamanku tentang doa semakin bertumbuh pada era covid tiga tahun ini. Aku pernah terinspirasi dari cerita seseorang tentang kakeknya yang berusia panjang yang berdoa sebelum melakukan apa pun. Itulah rahasia umur panjangnya, katanya. Mau minum, berdoa. Mau makan permen, berdoa. Mau jalan kaki, berdoa. Waktu kudengar cerita ini, aku semacam takjub karena merasa bahwa hal-hal yang kuanggap ‘kecil, biasa, dan sehari-hari’ ternyata perlu didoakan.
Tapi memang betul, doa itu sebetulnya kita bercakap-cakap dengan Tuhan. “Ngobrol sama Tuhan,” kalau kata Eyang Titiek Puspa. Definisi serupa juga disebutkan oleh Brother Lawrence (yang terkenal dengan buku The Practice of the Presence of God). Doa itu artinya ya ngomong-ngomong sama Tuhan kapan saja dimana saja. Berdoa selagi nyuci piring? Hayuk. Berdoa selagi goreng telur? Hayuk juga. Lagi ngambek? Nah ini hayuk banget. 😁
**
Elisabeth Elliot pernah membahas tentang doa dalam podcastnya. Begini beliau bilang:
“Ketika kita mengalami kesulitan, seringkali mungkin kita berpikir: “Oh, mestinya saya bicara ke si anu, ngobrol ke si B, ketemu si A. Atau mestinya saya pergi ke seminar ini atau mestinya saya konseling ke si D.. dst..”
Satu hal yang paling utama yang bisa kita lakukan adalah membawa masalah kita pada Tuhan dalam doa.
Jadi apa pun masalahnya, misalnya: kita mesti merawat orang yang tidak kita suka, menjalani situasi yang sulit, enggak suka pekerjaan suami, atau apa pun itu yang tak sesuai ekspektasi kita, maybe uncertainties, your sins, your fears, your dislikes, your prejudices, perubahan situasi, etc, bawa kepada Tuhan melalui doa.
Berdoalah agar Tuhan tunjukkan pada kita bagaimana Dia melihat orang tsb/situasi tsb, maka perspektif kita akan berubah.””
**
Dari buku A Praying Life-nya Paul Miller aku mengutip ini:

Jadi sesuai ya dengan yang disebutkan Elisabeth Elliot bahwa ketika kita merasa tak berdaya karena banyaknya masalah, yang pertama kali mesti dilakukan adalah: berdoa.
Terakhir, Yesus pernah memberitahukan bahwa sikap hati kita ketika berdoa mestilah percaya dan taat, dan mesti memaafkan sekiranya ada sesuatu yang mengganjal dalam hatimu terhadap seseorang. Karena kalau kita tidak memaafkan orang lain, Tuhan pun tidak memaafkan kita.
**
Kadang kita enggak tahu entah ada masalah apa di sekitar kita dan siapa saja yang perlu didoakan. Namun, Tuhan tahu dan seringkali Dia memang menggerakkan kita untuk berdoa. Maka jika engkau tergerak mendoakan seseorang atau suatu keadaan, segeralah berdoa.