Pernahkah kalian ingin menjadi juru selamat bagi keluarga dan teman, atau siapa pun itu, ketika mereka mengalami masalah? Well, aku yakin jawabannya pasti pernahlah ya. Aku pun pernah, bahkan lebih dari satu kali aku pernah ingin menyelesaikan masalah mereka dan berusaha supaya hidup mereka lebih baik dan lebih baik lagi, namun, tentu saja semua berakhir tidak seperti yang kuharapkan dan aku akhirnya kecewa. But the good thing is that, justru dari pengalamanku itulah aku belajar tentang keterbatasan manusia, tentang boundaries, tentang kebebasan memilih, dan tentang kedaulatan Allah.
Jadi gini, kira-kira dua tahun lalu, aku pernah frustrasi ingin mengubah seseorang agar hidupnya membaik. Saking frustrasinya dan merasa jalan udah buntu karena enggak tahu lagi mau bikin apa kepada orang tersebut supaya dia mau berubah (kita sebut saja namanya si AL), akhirnya aku konseling dan kuceritakan masalahku kepada konselorku.
Setelah panjang lebar kubercerita, konselorku bilang gini, “Oh, jadi ibu ingin supaya si AL ini menjadi seperti ibu, betul?”
Wait.
What?
“To become like me?” i repeat the question. “Of course not,” jawabku.
“Tapi tadi ibu bilang ibu ingin supaya si AL menjadi senang berkomunitas, mau terbuka, dan mau belajar percaya sama Tuhan. Bukankah semua itu adalah supaya menjadi seperti diri ibu?” ujarnya.
Aku tertohok. Tentu saja aku tidak ingin si AL menjadi seperti aku. AL adalah AL, aku adalah aku. Aku hanya ingin supaya si AL menjalani hidup dengan menjadi versi terbaik dirinya.
Kemudian konselorku ngomong lagi: “AL menjadi seperti dirinya sekarang ini karena proses yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, bu. Dan AL pasti merasa tidak ada yang salah dengan dia dan merasa hidupnya normal-normal saja. Untuk mengubah kebiasaan baru diperlukan usaha dan waktu. Kalau ibu mau menolong AL, ibu bisa melakukannya pelan-pelan. Ibu bisa sesekali bertanya bagaimana kabarnya, atau ibu bisa sesekali ajak AL jalan-jalan. Begitu kira-kira, bu.”
Dan begitulah, akhirnya pelan-pelan aku belajar menerima bahwa mengubah orang adalah tanggung jawab Tuhan, bukan tanggung jawabku. Tanggung jawabku adalah belajar menerima mereka, mengasihi mereka, bahkan jika mereka takkan pernah berubah.
KETERBATASAN MANUSIA DAN BOUNDARIES
Seperti yang kusebutkan di awal tadi, dari pelajaran mengubah orang lain ini, aku belajar tentang keterbatasan manusia dan tentang boundaries.
Dalam keterbatasanku, aku enggak bisa mengubah orang dan menyelesaikan masalah mereka untuk mereka becoz they have to walk their own journey in their own time. Namun, dalam boundariesku, aku bisa mendampingi perjalanan mereka, aku bisa memberi semangat untuk mereka, bisa berempati ketika diperlukan, bisa menyiapkan makanan, bisa menraktir minuman, bisa belikan buku, bisa berdoa, bisa memberi saran bila diminta, bisa menjadi telinga ketika mereka butuh bercerita, dll. Hanya sampai di situlah aku dapat berpartisipasi. Sisanya, semua kembali kepada orang tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan apa yang mereka percayai, their values, etc.
KEBEBASAN MEMILIH & KEDAULATAN ALLAH
Hal kedua yang kupelajari dari masalah ingin mengubah orang ini adalah tentang kebebasan memilih dan tentang kedaulatan Allah.
Menurutku, kebebasan memilih adalah salah satu anugerah dari Tuhan yang paling luar biasa dalam hidup ini. Jadi misalkan Tuhan telah memberi jalan kepada mereka untuk berubah, nah itu pun kembali kepada orang tersebut apakah dia memilih untuk menerima undangan tersebut atau tidak. Tuhan tidak memaksa sama sekali. Namun, kebebasan kita memiliki konsekuensi. Sehingga apa pun pilihan yang kita ambil akan memiliki pengaruh. Itulah bukti bahwa Tuhan Allah berdaulat penuh atas segala ciptaan-Nya.
**
Jadi misalkan kapan-kapan kalian juga merasa frustrasi ingin mengubah orang lain, ingatlah pada postinganku ini ya. 😁 Semua orang memiliki kapasitasnya masing-masing untuk bertumbuh menjadi lebih baik dalam waktunya masing-masing. We can’t change people but we can change ourselves and change our perspective to love them with God’s help.
Ketika kita mulai belajar mencintai orang karena mereka kompeten di bidangnya, atau karena kita melihat sisi-sisi positif mereka, maka kita telah belajar mencinta dengan dewasa.
Acung tangan, gw pernah ada di posisi ini. Frustasi banget, tapi terus-menerus belajar untuk tidak mengontrol perjalanan orang lain. Let them go through their journey, kita nonton aja sambil makan kacang dan tarik napas panjang-panjang biar gak terlalu frustasi.
LikeLike
Hai mbak Ailtje.. makasih udah baca ya 😊😊 iya bener banget, makan kacang aja kita 😁😁
LikeLike