Merantau di Jakarta

Dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Bekasi beberapa waktu yang lalu, aku merasa aneh jika diam-diam saja sepanjang jalan. Lantas aku pun bertanya-tanya dalam hati tentang apa gerangan yang hendak kubicarakan dengan bapak yang nyetir mobil. 

Apa yang ingin kuketahui tentang hidup beliau? Pikirku.

Pasti ada yang bisa kupelajari darinya. Pikirku lagi. 

Akhirnya, aku memulai obrolan dengan pertanyaan: “Bapak sudah berapa lama di Jakarta?” 

Dia menjawab, “Sudah 30 tahun, bu.” 

Wah udah lumayan lama juga, ya? 

“Bagaimana ceritanya bisa sampai di Jakarta ini, pak?” tanyaku kembali. 

Beliau kemudian bercerita ketika berusia lima belas tahun, ia ikut rombongan sekolahnya berwisata ke Jakarta. Tapi kemudian dia tidak ikut pulang ke kampung halamannya, dan memutuskan tetap tinggal di Jakarta. Di ibukota dia berkelana dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. 

Ia lanjut bercerita tentang bagaimana ia menyaksikan perubahan demi perubahan di wajah Jakarta selama tiga puluh tahun pengembaraannya ini. Dari yang dulu Jakarta masih sepi, hingga sekarang bukan main ramainya. Dari yang dulu masih banyak pohon nangka pohon kecapi, hingga sekarang banyak muncul pohon beton alias gedung pencakar langit. Yang dulunya rumah bedeng belum ada, sekarang muncul banyak di Jakarta Utara-Barat. 

Karena masih penasaran, aku lanjut bertanya: “Jadi apa yang membuat bapak memutuskan meninggalkan kampung halaman dan merantau di Jakarta ini pada usia yang bisa dibilang masih amat muda?” 

Beliau bilang bahwa awalnya ia ingin membantu orang tua dan supaya orang tuanya bisa pergi umroh. Then i was like: Wow! Luar biasa ya? Dalam usia 15 tahun beliau sudah punya tujuan hidup kayak gitu..  

Aku bertanya lagi, “Lalu apakah orang tua bapak jadi pergi umroh?” 

“Tuhan punya rencana lain, bu. Orang tua saya meninggal sebelum sempat umroh,” ujarnya. 

Manusia berencana, Tuhan jualah yang memutuskan. 

Kemudian beliau membuat pengakuan bahwa sebetulnya ia sudah capek kerja merantau di Jakarta. 

“Lah, terus kenapa bapak masih kerja di sini?” tanyaku. 

“Masih ada anak-anak yang perlu dipikirin sekolahnya, bu. Itulah yang membuat saya masih semangat bekerja,” ujarnya. Betul juga ya. Kalau ada tujuan jelas yang ingin dicapai akan membuat hidup dan pekerjaan kita bermakna. 

Ketika kira-kira tujuan kami hampir tiba, aku pun bertanya lagi. Semacam pertanyaan penutup. 

“Jadi apa makna hidup yang bisa bapak petik selama merantau puluhan tahun ini?” 

Beliau menjawab: 

“Jangan cengeng kalau di Jakarta… 

Ujian hidup pasti ada terus… 

Sesulit apa pun dijalani dengan ikhlas, jujur dan tekun..

Saya sudah bertemu banyak orang dan bertemu beragam karakter manusia, bu.. 

Namun sampai sekarang saya masih terus belajar.. 

Saya percaya doa orang tua terus mengiringi kemana pun saya melangkah..” 

tutupnya. 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s