Aek Natonang

Libur Natal tahun 2003, saat pulang kampung ke Lontung, Samosir, saya mengajak Bapak beserta adik dan sepupu mendaki gunung menuju Aek Natonang yang berada di Tanjungan. Saya penasaran, bagaimana sih rasanya naik gunung? Soale selama ini saya belum pernah naik gunung. Dan selama ini, kalau pulang kampung, saya hanya bisa melihat gunung itu beserta jalan zig-zagnya dari jauh, dari jendela rumah Ompung (bahasa Batak, artinya kakek/nenek, orangtua dari orangtua saya).

Mendaki

Jumat pagi (26 Desember) sekitar jam sembilan, kami pun memulai pendakian bersejarah itu :D. Awalnya, semangat saya masih berkobar-kobar, seperti kain yang dilumuri minyak tanah lalu dibakar. Eh, nggak tahunya, setelah sekitar setengah jam mendaki, capek sekali rasanya! Jantung saya sepertinya mau meledak. Berat banget!

Melihat keadaan saya, adik-adik dan sepupu meledek saya, kata mereka, “Gimana, Kak? Apakah sudah mulai ada penyesalan?” πŸ˜€ . Saya jawab, “Yaelah, enak aja lo pada. Aku nggak nyesal naik gunung ini. Aku kan memang pengen tahu gimana rasanya yang memanjat gunung ini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Belum tentu tahun depan aku bisa pulang ke bona pasogit (kampung halaman). Jadi, yaaa, nggak ada penyesalan. Cuma memang capeeeek banget.” Saya harus berhenti bolak-balik untuk menenangkan jantung ini. Bisa jadi, kalau tidak ada saya, mereka pasti bisa lebih cepat mendaki.

Sewaktu hampir sampai di puncak, kaki saya masuk ke lumpur. Dari jarak yang tidak begitu jauh, tanahnya kelihatan keras. Tahu-tahu, setelah dijalani, alamak, tanahnya lembek sekali alias lumpur 😦 . Tapi dari tempat kaki saya kemasukan lumpur itu, pemandangannya baguuuuuuuus banget! Pemandangan Pulau Samosir dengan Danau Toba-nya tanpa kabut, sungguh amat cantik! Saking cantiknya, kami menyebut momen itu dengan “Swiss-nya Samosir” πŸ™‚ .

Ingin rasanya momen itu saya abadikan. Tapi sayang, berhubung waktu itu kami tak punya alat dokumentasi (baca: kamera atau henpon berkamera), maka momennya lenyap begitu saja. Saya belum tertarik dengan fotografi saat itu. Tahun 2005 saya baru mulai jepret menjepret. But one thing for sure, pemandangan Samosir yang sangat indah waktu itu masih terekam jelas di memori saya.

Sesampainya di puncak, kami semua bersalaman πŸ˜€ . Seperti pendaki gunung profesional saja, pakai acara salam-salaman segala hahaha πŸ˜€ . Syukur kami tidak bawa bendera merah putih. Kalau dibawa, pasti sudah kami tancapkanlah itu bendera di atas sana hahahah πŸ˜€ .

Setelah istirahat dan menghirup udara segar di warung minuman yang terletak di pinggir jalan raya Desa Tanjungan, kami pun melanjutkan perjalanan ke Aek Natonang. Artinya dalam Bahasa Indonesia: Air yang Tenang. Jarak tempuh dari lokasi puncak ke Aek Natonang sekitar 500 meter.

Belo

Oya, hampir lupa. Ada satu anggota lagi yang ikut mendaki dengan kami. Yaitu si Belo. Anjing Ompung saya yang setia banget πŸ˜€ . Memasuki areal Aek Natonang, terdapat sebuah ranch atau peternakan. Menurut Bapak saya, dulu Bapak dari Ompung saya memelihara banyak kuda, lembu dan kerbau di peternakan ini.

Saat kami tiba, ada beberapa kuda yang berkulit hitam sedang wara-wiri di padang rumput. Waktu kuda-kudanya berlarian, si Belo pun ikut-ikutan lari. Mungkin gara-gara kulit si Belo juga hitam, dipikirnya dirinya adalah kuda. Makanya dia ikutan lari. Hahahahaa πŸ˜€ .

Arboretum Aek Natonang

Keletihan selama perjalanan terbayar sudah, ketika akhirnya kami melihat Aek Natonang di depan mata. Wuiiihh.. Airnya memang benar-benar tenang. Lokasinya cocok sekali menurut saya untuk syuting film India. Bisa bebas lari kesana-kemari sambil menari di atas hamparan padang rumput :D. Film India, kan, begitu toh? Lari dan nari melulu πŸ˜€ .

Menurut Bapak saya, Aek Natonang ini sejatinya adalah bendungan atau waduk yang dibangun oleh leluhur kami (sekitar 8 generasi diatas saya), untuk mengairi sawah di Lontung yang terletak di bawah gunung. Jadi mulanya, leluhur kami bertempat tinggal di Desa Tanjungan ini. Namun karena di dataran tinggi tidak cocok bertanam padi (cocoknya menanam kopi), akhirnya mereka pindah ke tempat yang lebih rendah dan lebih hangat, yaitu ke bawah gunung, ke Lontung. Untuk mengairi sawahnya, dibangunlah Aek Natonang ini.

Tahun-tahun berlalu. Aek Natonang pun seolah terlupakan oleh keluarga besar kami. Orangtua saya pernah berusaha menyatukan semua keluarga untuk bekerja sama mempertahankan Aek Natonang agar tidak jatuh ke tangan negara. Tapi gayung tidak bersambut. Usaha mereka dimentahkan. Semua keluarga nampaknya sibuk dengan urusannya masing-masing. Apa daya, Aek Natonang akhirnya kini telah berada di tangan negara. Namanya sekarang adalah: Arboretum Aek Natonang.

“Apa arti arboretum?”, tanya saya ke diri sendiri ketika melihat papan namanya di pinggir jalan raya Tanjungan, bulan Juli lalu. Saya tanya juga ke pemilik angkot yang saya sewa dari Lontung, serta ke pemilik warung di dekat situ. Tidak satu pun dari mereka mengetahui arti arboretum. Sayang sekali. Mengapa pemerintah membuat nama dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh penduduk sekitar? Untuk gengsi-gengsian saja kah? Supaya keren saja kedengarannya, begitu? 😦 .

Arboretum Aek Natonang

Setelah saya cari di google.com, ternyata arti arboretum adalah: botanical garden atau semacamnya. Amangoi (ungkapan takjub dalam bahasa Batak), koq jauh banget lah pemerintah kita ini bikin nama, ya? Bahkan di Singapura sana saja yang notabene botanical garden-nya banyak dan canggih, tidak disebut dengan arboretum 😦 .

Skylift

Kembali ke Desember 2003.

Di Aek Natonang, kami berenam piknik, leyeh-leyeh. Di bawah pohon dap-dap,Β sambil menikmati pemandangan hamparan pinus di seberang sana, kami makan-minum ala kadarnya dengan bekal yang kami bawa dari Lontung.

Dalam pikiran saya, sempat terbayang:

“Suatu hari nanti, tempat ini akan diramaikan oleh skylift yang akan menghubungkan Lontung dengan Aek Natonang, serta skylift yang akan menghubungkan Sigapiton (di seberang danau) dengan Aek Natonang. Resor atau hotel pun akan dibangun juga di sini. Aek Natonang akan dibuat cantik sedemikian rupa menjadi botanical garden atau winery (seperti di Eropa sana), sehingga baik turis nasional maupun internasional tertarik datang kesana. Pada akhirnya, pariwisata Samosir pun bangkit.”

Pulang

Masih ingin berlama-lama sebenarnya di sana. Tapi keadaan langit dengan awan hitam yang menggelantung, tidak mengizinkan kami berlama-lama di Aek Natonang. Kami harus kembali turun melalui jalan yang tadi. Kalau hujan, tanah akan basah dan licin, sehingga sulit untuk turun gunung.

Kami pun beberes dan kembali ke puncak gunung. Ternyata turun gunung lebih “hebat” alias lebih gawat lagi saudara-saudara… Lutut saya lemas banget. Gemetaran. Pengennya sih ada pilihan naik perosotan saja di situ. Jadi bagi yang tidak sanggup menuruni bukit, ya turun pakai perosotan, gitu… Kan, enak tinggal meluncur saja…

Setelah selesai menuruni bukit, ‘ujian’ belum kelar juga. Masih ada jalan setapak sejauh 500 meter yang harus ditempuh untuk sampai ke rumah Ompung. Saat pulang memang terasa lebih berat, ya? Padahal kan, jalan yang ditempuh sama saja sebenarnya. Hahaha. Hebat bangetlah pokoknya perjalanan kami itu. Untungnya saya punya tongkat sakti alias tongkat penolong yang diberikan Bapak di awal pendakian tadi. Sangat menolong saya sepanjang perjalanan.

Saya jadi teringat dengan ucapan adik sewaktu hampir sampai di puncak (setelah tragedi kaki saya masuk lumpur). Katanya kepada Bapak, “Pak, pulangnya kita naik bus sajalah, ya…” Huahahaha kami tertawa terbahak-bahak mendengar permintaannya itu.

Agak tergoda juga saya dengan permintaannya itu. Membayangkan beratnya medan yang harus ditempuh lagi saat pulang, ya mendingan naik bus saja deh πŸ˜€ . Tapi kalau naik bus, pengalamannya nggak ‘cantik’ dong, kan? Seolah mengamini agar pengalaman kami ‘cantik’, jawab Bapak, “Bus tidak menentu adanya dari Tanjungan menuju Tomok.” πŸ˜€ (Harus naik bus dari Tanjungan menuju Tomok. Lalu dari Tomok naik angkot lagi ke Lontung). Hahahah.. Pupus sudah harapan pulang naik bus πŸ˜€ .

*****

Di bawah ini sebagian foto yang berhasil saya abadikan dari perjalanan Juli 2013 kemarin, dengan iphone. Enjoy!

 

******

Tips jalan-jalan ke Aek Natonang.
  • Sewa mobil dari Lontung-Aek Natonang setengah hari (+/- 6jam) = Rp 150.000. Dari Tomok ada juga yang menyewakan mobil atau motor.
  • Siapkan mental untuk melewati jalan raya Tomok-Tanjungan yang tidak mulus. Seperti yang pernah saya singgung disini.
  • Jarak tempuh Tomok-Aek Natonang +/- 1 jam.
  • Tidak dipungut biaya masuk ke Aek Natonang. Gratis.
  • Jika piknik disana, mohon jaga kebersihan. Bawalah pulang sampah Anda. Disana tidak ada tempat sampah. Kecuali kalau Anda makan-minum di warung dekat pintu masuk Aek Natonang.
  • Siapkan baju hangat, disana dingin.

12 thoughts on “Aek Natonang

  1. sbgai org Batak jg, aku kangen kalo liat foto2 di atas….pgn pulang…kampungku di Sibolga..tiap kesana, pasti ngelewatin danau toba …dan kita srg berhenti cm untuk enjoy danau dan pulau samosir di kejauhan πŸ™‚

    makanya aku lbh suka pulang kampung itu naik mobil drpd pesawat mes.. Yg diliat lbh banyak dan cantik2 πŸ˜‰

    Like

  2. Liat foto item putihnya itu berasa…gimana gitu ya.Aku jadi ngebayangin perjalannnya kayak ngebayangin masa kecil dulu. Kalo ke kampung full makanan dan sukaaaa ngeliat ke luar jendela.

    Like

  3. Aku suka foto-fotonya, serba hijau segar ngelihatnya. Dulu waktu aku ke kampung bbrp kali ga terlalu perhatikan yg serba hijau, krn saat itu belum suka berkebun. Skrng jadi pengen ke SUMUT lagi spy puas potretin keindahan tano Batak πŸ™‚ .

    Like

Comments are closed.