Beberapa waktu yang lalu mestinya saya mengikuti satu webinar tentang Ayub. Tapi, karena kesibukan, dan kayaknya juga karena keangkuhan, sehingga saya pikir saya udah merasa tahu tentang kemana arah pembahasan.. “Oh, kalau tentang Ayub tentunya pembahasan di seputar penderitaan dan semua penderitaan pada akhirnya adalah untuk kemuliaan Allah dan kebaikan manusia..” Maka demi alasan tersebut, saya urung mengikuti webinarnya.
So.. beberapa minggu berlalu dan.. saya menghadapi beberapa perubahan dalam ritme kehidupan pasca pandemi. Perubahan yang membawa saya memikirkan ulang tentang boundaries (pengendalian diri), belajar lagi tentang penerimaan (acceptance), dan belajar lagi tentang bersyukur.
It’s not easy doing all of these things i have to admit. Natur kita manusia cenderung ingin mengatur hidup orang lain dan egois.
Paradoks
Hal ini membuat saya kadang berpikir bahwa sebenernya hidup ini emang soal itu-itu saja.. Masalah, berkat, masalah, berkat. Bergantian. Selesai dari masalah yang satu, kita masuk ke masalah lainnya. Kemudian kita diberi berkat yang satu, lalu masuk ke berkat lainnya. Bergantian juga.
Namun, sekarang saya udah mulai dapat melihat bahwa masalah adalah berkat. Berkat yang terselubung. Kenapa saya bilang gitu? Karena kalo kita udah selesai dengan masalah yang satu, kita jadinya dapat ilmu, kita belajar, sehingga kita punya bekal ke depannya untuk menghadapi masalah lain.
Dan karena ada masalah, kita mau tak mau mesti terus mengupdate ilmu kita (kayak henpon yang diupdate berkala), supaya dapat terus bertahan menjalani hidup, karena hidup terus berjalan dan masalah maupun perubahan datang terus tanpa bisa dibendung.
Kita jadinya belajar terus, kan? Menurut saya, itulah salah satu pelajaran kehidupan yang paling keren, yaitu paradoksnya: kita memang belajar dari masalah; kita bertumbuh dari masalah.
Ayub Plus
Jadi, sewaktu masalah datang bertubi-tubi saat itu, saya teringat tentang webinar Ayub yang tidak jadi saya ikuti tersebut, dan saya pun mengikuti rekaman yang tersedia. (untung ada rekamannya!)
Saya mendengarkan secara saksama pemaparan demi pemaparan dari narasumber yang menjelaskan bak story teller kompeten! Dan ternyata, dugaan saya meleset tentang hal yang dibahas.
Begitu banyak pelajaran yang saya dapat yang ‘membuka’ mata saya, dan, bener-bener itulah pertolongan yang saya perlukan saat itu. Tak habis-habis rasanya hal-hal yang dapat dipelajari dari kisah Ayub.
Btw, you know Ayub’s story, right? Orang terpandang yang pada zamannya mengalami pencobaan bertubi-tubi. Kehilangan ternak, anak, dan semua harta bendanya dalam sekejap mata, dan tubuhnya dipenuhi luka borok. Kalo di zaman sekarang, kehilangan yang dialami Ayub barangkali seperti kehilangan yang dialami oleh Horatio Spafford. Horatio adalah seorang pengacara kaya dari Chicago yang mengalami pencobaan bertubi-tubi. Mulai dari anak lelaki satu-satunya meninggal karena demam berdarah, kemudian aset propertinya habis terbakar dalam tragedi The Great Chicago Fire, dan terakhir, keempat anak perempuannya tenggelam dalam kecelakaan kapal.
Dalam duka yang begitu mendalam Horatio menuliskan lagu “It Is Well With My Soul”.
When peace like a river attendeth my way, When sorrows like sea billows roll; Whatever my lot, Thou has taught me to say, It is well, it is well, with my soul.
Hanya Roh Allah yang Kudus yang dapat mengilhami seseorang menuliskan lagu seperti ini ketika ia dirundung duka tak terkira. Sampai sekarang lagu ini kerap dinyanyikan dimana-mana. Khususnya ketika pencobaan datang menguji iman seseorang…
Oke, kembali ke webinar Ayub.
Jadi, salah satu yang saya pelajari dari webinar Ayub adalah tentang kehendak bebas. Free will. Pernah dengar?
Kehendak Bebas
Pada mulanya, Tuhan yang adalah Kasih menciptakan manusia serupa dan segambar dengan-Nya (yang adalah kasih). Tujuannya yaitu agar manusia dapat mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama.
Namun, untuk mendapatkan balasan kasih yang sejati dari manusia (karena manusia bukan boneka yang dapat diatur sesuka Tuhan), maka dalam kebenaran dan keadilan-Nya (dan dalam hikmat-Nya yang melampaui segalanya), Tuhan harus memberikan manusia ‘kehendak bebas’, yaitu kapasitas untuk memilih dan memutuskan sendiri. Dan Tuhan juga harus memberikan alternatif pilihan.
Maka, karena itulah Tuhan mengizinkan iblis untuk dengan bebas menggunakan segala kelicikan, tipu-dustanya untuk merayu manusia menjadi pengikut-pengikutnya, mengecoh mereka untuk membenci dan memberontak kepada Tuhan.
Manusia dengan kehendak bebasnya sekarang punya dua pilihan yang ‘setara’ (tidak berat sebelah), yaitu: ikut iblis ==> hidup dipimpin hawa nafsu dan keinginan jahat, dan tidak mengenal kekekalan; atau ikut Tuhan ==> hidup dipimpin Roh Allah dan menikmati sukacita atas kecukupan yang Tuhan berikan di dunia, ditambah adanya harapan akan kehidupan kekal bersama Tuhan.
Dalam hikmat dan kasih karunia-Nya yang melampaui segalanya, Tuhan mengizinkan proses pemurnian yang mengandalkan iman, yaitu ketika semua berkat dihilangkan (artinya akan ada penderitaan) dan yang tertinggal hanyalah diri Tuhan sendiri. Dalam proses ini, orang-orang meresponi panggilan Tuhan dan berelasi dekat dengan-Nya (yaitu mendengar dan melakukan Firman Tuhan), semua semata berdasarkan rasa kasih mereka pada Tuhan. Mereka yang sabar dalam penderitaan, dan percaya bahwa Tuhan mengizinkan penderitaan untuk tujuan yang lebih baik dan indah, adalah bukti kasih Tuhan yang sejati kepada mereka.
Kesimpulan: ketika masih ada orang-orang yang memutuskan tetap ikut Tuhan karena Diri-Nya (bukan karena berkat-Nya), maka Tuhan dipermuliakan, karena IA memang layak dikasihi, layak disembah, dan layak menerima semua pujian dan ucapan syukur kita.
Sekarang pertanyaannya adalah: apakah kita mau tetap terus mengikut Tuhan walaupun berkat-berkat (karir, harta kekayaan, kesehatan, keluarga, dlst) yang ada pada kita, diambil?